Pengantar Kota akan selalu mengalami perkembangan baik secara fisik maupun non fisik. Perkembangan kota merupakan konsekwensi logis dari proses "urbaniasi” dalam arti yang sangat luas. Pertambahan penduduk kota di satu sisi, serta peningkatan jumlah fasilitas fisik kota merupakan suatu faktor yang mendorong perkembangan kota semakin pesat. Tuntutan akan pemenuhan fasilitas kota serta adanya "keterbatasan” lahan di perkotaan, menyebabkan pemanfaatan ruang kota mengalami dilema dalam pengendaliaannya. Alih fungsi ruang kota dan semakin tidak terkendalinya pemanfaatan kaasan-kawasan yang "tidak terawasi seperti Kawasan Tepi Air Sungai (KTAS) atau yang lebih umum dengan istilah bantaran / stren sungai (baca; wilayah sempadan tepi air sungai), merupakan salah satu masalah dihadapi oleh kota yang memiliki daerah aliran sungai. Pemanfaatan KTAS pada saat ini mengalami kecenderungan tidak terkontrolnya penggunaan ruang, kepadatan, serta fungsi ekologis yang mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan fisik serta kualitas air sungai. Pemukiman kumuh di sepanjang KTAS merupakan suatu pemandangan yang "biasa” dan pada akhirnya menimbulkan masalah yang sangat serius dalam upaya pemanfaatannya. Kawasan TAS, khususnya daerah bantaran sungai dalam pengendaliannya menghadapi masalah yang serius seperti; Kepadatan bangunan yang tinggi dengan prasarana lingkungan yang minim; Kualitas visual yang terkesan "kumuh”; Kerawanan terhadap bahaya banjir dan tanah longsor; serta Pembuangan sampah rumah tangga yang mencemari sumber daya air sungai dan lain-lain. Keadaan ini terjadi antara lain karena upaya perencanaan, perancangan, serta pengendalian pemanfaatan KTAS yang masih sektoral. Upaya-upaya penataan kawasan yang sudah terlanjur "kumuh” ini permasalahannya bukan hanya sekedar perancangan fisik ruang saja tetapi justru permasalahan lingkungan dan sosial merupakan masalah krusial yang sulit untuk diatasi dalam waktu yang relatif singkat. Dalam upaya meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan dalam pemanfaatan KTAS, diperlukan pemahaman dan penanganan semua aspek yang menyertai secara komprehensif. Upaya penataan KTAS sebagai suatu bentuk upaya intervensi fisik harus memperhatikan keberlanjutan kehidupan sosial, budaya serta ekologis kawasan. Keberlanjutan pembangunan (sustainable development) sebagai suatu konsep penataan (intervensi fisik berupa rancang bangun kawasan) kelihatannya merupakan salah satu solusi yang mampu menjembatani berbagai kepentingan pembangunan di KTAS. Pembahasan dalam makalah ini akan ditekankan pada menghasilkan prinsip-prinsip disain KTAS sesuai dengan peruntukan fungsi kawasan yang diperkenankan, dengan memperhatikan konsepsi keberlanjutan pembangunan sebagai mainset. Kerangka acuan perancangan unsur fisik KTAS mengacu kepada unsur-unsur perancangan kota seperti diungkapkan oleh Hamid Shirvani (1985) dalam bukunya Urban Design Process. Permasalahan yang sering muncul dalam upaya pemanfaan KTAS adalah bangaimana arahan atau prinsip-prinsip disain untuk fungsi tertentu di KTAS yang mampu menjaga kelestarian lingkungan TAS. Dengan tetap mengacu kepada ketentuan perundangan yang berlaku serta pendekatan-pendekatan perancangan kawasan diharapkan prinsip-prinsip disain kawasan dapan memberikan arahan yang lebih jelas dalam pemanfaatan KTAS. Upaya penyusunan prinsi-prinsip perancangan ini harus dibarengi dengan upaya-upaya pelibatan masyarakat di sekitar KTAS untuk perperan aktif dalam upaya implementasi dan pengendaliannya. Pemanfaatan KTAS Terpadu dan KeberlajutanStrategi pembangunan yang hanya mengacu pada paradigma pertumbuhan dan "pemerataan” telah terbukti rentan terhadap masalah-masalah sosial. Menurut Tjokrowinoto (1987) pendekatan pembangunan harus disertai dengan nilai kelestarian pembangunan atau sustainable development untuk menumbuhkan self sustaining capacity masyarakat. Ini bermakna bahwa pembangunan harus berpusat pada manusia (poeple-centered development). Strategi ini akan menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pelaksanaan UU No. 22 tahun 2000 tentang Pemerintah Daerah, dan UU No. 25 tahun 2000 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagai realisasi Otonomi Daerah (OTODA), berimplikasi pada perubahan paradigma pembangunan di daerah. Pembangunan di daerah, seperti tercantum dalam pasal 92 UU No. 22 disebutkan bahwa; dalam penyelenggaraan pembangunan kawasan perkotaan, Pemerintah daerah perlu mengikut sertakan masyarakat dan swasta (ayat 1); dan Pengikutsertaan masyarakat, sebagaimana dimaksud ayat (1), merupakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perkotaan. Bila dikaitkan dengan tiga strategi pembangunan yang dilakukan oleh David C. Korten (1984), yaitu strategi pertumbuhan, basic needs, dan strategi people-centered development, maka paradigma pembangunan kota saat ini diarahkan pada strategi pembangunan yang ketiga. Strategi ini merupakan strategi yang mendekati konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Pemahaman sustainable development sebenarnya bukan semata-mata keberlanjutan dalam pemahaman perubahan social-cultural masyarakat, tetapi keberlanjutan dalam pengertian luas termasuk aspek ekologi (sustainable environment). Terjaga dan terpeliharanya kualitas lingkungan secara ekologis dan sosial-budaya dan ekonomi merupakan sasaran yang harus dicapai setiap upaya pembangunan kawasan. Hal ini bermakna bahwa perubahan atau "intervensi fisik” (baca: pembangunan) yang dilakukan harus mampu menjamin dan meminimalkan cultural-lag dalam arti luas. Perancangan Kawasan Tepi Air Sungai (KTAS) sebagai bentuk "intervensi” fisik dalam upaya pemanfaatan ruang kota juga harus memperhatikan kepentingan tuntutan pengembangan (fungsi ruang), kelestarian lingkungan serta kepentingan hajat hidup masyarakat di sekitar kawasan. Konsep sustainability yang digagas oleh kaum environmentalist berawal dari sikap keprihatinan terhadap konsekwensi jangka panjang terhadap tekanan daya dukung alami (natural support system). Dalam Brundtland Commission Report yang berjudul Our Common Future, dijelaskan batasan tentangsustainable development sebagai berikut (Blower, Andrew 1993): "Sustainable development is defined as development that meet the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs.” Uraian di atas semakin jelas bagi kita bagaimana konsepsi pembangunan yang berkelanjutan menjadi tuntutan yang semakin mengemuka. Dalam tataran operasional konsepsi keberlanjutan pembangunan sebenarnya masih menuntut adanya prasyarat keterpaduan baik dalam perencanaan, perancangan, pelaksanaan maupun kontrol operasionalnya. Pengertian terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan dan perancangan KTAS. Perencanaan terpadu dimaksudkan sebagai suatu upaya secara terprogram untuk mencapai tujuan yang dapat mengharmoniskan dan mengoptimalkan antara kepentingan untuk memelihara lingkungan, keterlibatan masyarakat, dan pembangunan ekonomi. Dalam konteks perencanaan pembangunan sumber daya alam yang lebih luas, Hanson (1988) mendefinisikan perencanaan sumberdaya secara terpadu sebagai upaya secara bertahap dan terprogram untuk mencapai tingkat pemanfaatan sistem sumber daya alam secara optimal dengan memperhatikan semua dampak lintas sektoral yang mungkin timbul. Menurut Lang (1986) keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam hendaknya dilakukan pada tiga tataran (level), yakni tataran teknis, tataran konsultatif dan koordinasi. Keterpaduan dalam tataran teknis dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek teknis, ekonomis, dan lingkungan secara proporsional dalam setiap keputusan perencanaan dan pembangunan kawasan. Pada tataran konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan stakeholders atau yang terkena dampak pembangunan hendaknya dilibatkan (participation approaches) sejak tahap awal perencanaan sampai pelaksanaan. Tataran koordinasi mensyaratkan adanya kerjasama harmonis di antara stakeholders baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Pemanfaatan KTAS secara terpadu adalah suatu pendekatan pemanfaatan KTAS yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan secara terintegrasi (integrated) guna tercapainya pembangunan KTAS secara berkelanjutan. Menurut Dahuri, R. (2001), keterpaduan (integrated) pemanfaatan SDA mengandung tiga dimensi; sektoral (horizontal and vertical integration), bidang ilmu (interdisciplinary approaches) dan keterkaitan ekologis (ecological linkages). Mengingat upaya pemanfaatan mengandung makna pengelolaan yang di dalamnya mengandung tiga tahapan utama; tahap perencanaan, tahap implementasi, tahap monotoring dan evaluasi, maka jiwa keterpaduan perlu diterapkan sejak tahap perencanaan sampai tahap evaluasi. Pembahasan dalam makalah ini akan dibatasi pada tahap perencanaan dengan menghasilkan prinsip-prinsip perancangan KTAS. Sehingga pembahasan dimensi keterpaduan bidang ilmu (interdisciplinary approaches) dan keterkaitan ekologis (ecological linkages) lebih dominan. Kawasan Tepi Air Sungai (KTAS) meruakan suatu kesatuan area/lahan yang letaknya berbatasan langsung dengan tepian air sungai, yang masih memiliki pengaruh dominan karakteristik lingkungan tepi air baik secara morfologis, maupun ekologis. Secara fungsional KTAS sebagai satuan wlayah dan atau bagian wilayah kota mempunyai fungsi utama sebagai fungsi ekologis. Kaqasan TAS merupakan area konservasi yang diharapkan akan mampu "memfilter” serta melindungi sumber daya air sungai. Pada kenyataannya fungsi ekologis KTAS saat ini sudah mulai hilang karena pemanfaatan KTAS semata-mata hanya diperuntukan bagi fungsi-fungsi hunian, perdagangan, tanpa memperhatikan kepentingan-kepentingan kelestarian lingkungan. Hal ini berimplikasi pada kecenderungan penurunan kualitas visual dan kualitas ekologi lingkungan kawasan. Upaya-upaya pengendalian serta perlindungan terhadap kualitas lingkungan Tepi Air Sungai (TAS) sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah dengan diterbitkannya beberapa peraturan perundangan yang berkaitan dengan hal tersebut. Peraturan perundangan tersebut seperti diurai pada halaman 3 di depan. Peraturan teknis mengatur yang pemanfaatan KTAS tertuang dalam Petunjuk Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan di Kawasan Tepi Air, yang dikeluarkan oleh Dirjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum RI tahun 2000. Walaupun boleh dikatakan terlambat, karena pada saat diterbitkan permasalahan pemanfaatan KTAS di beberapa kota sudah demikian kronis. Tetapi paling tidak kita dapat gunakan pada upaya-upaya perancangan KTAS ke depan. Selain perangkat peraturan tersebut, sebenarnya pemerintah lokal (kota dan kabupaten) yang wilayahnya memiliki aliran sungai, telah mengeluarkan perangkat (perda) yang mengatur tentang pemanfaatan daerah "bantaran” sungai. Walaupun demikian kita juga harus menyadari bahwa permasalahan pengendalian dan penataan KTAS saat ini bukan hanya masalah teknis penataan fungsi ekologis saja, tetapi justru masalah sosial masyarakat di KTAS merupakan masalah yang sangat pelik. Sehingga keterpaduan horisontal dan vertikal seperti diharapkan oleh Dahuri R (2001) harus dilakukan. Dalam tataran operasional kenyataannya perangkat peraturan sebagai "pengendali” belum mampu berperan optimal. Untuk itu diperlukan upaya-upaya kongkrit yang mampu menjembatani berbagai kepentingan dalam pemanfaatan KTAS. Kawasan Tepi Air sungai dalam pembahasan ini adalah KTAS yang berada di lingkungan kota, sehingga pembahasan perancangan KTAS merupakan bagian dari proses perancangan kota secara umum. Perancangan kota (urban) pada hakekatnya merupakan pengelolaan kawasan kota yang terpadu, yang bertujuan untuk mengupayakan terbentuknya perangkat pengendali (urban regulation) yang mampu mengantisipasi semua aspek perkembangan kota, termasuk KTAS. Menurut Shirvani, H. (1985), dalam bukunya The Urban Design Process menyebutkan perancangan kota adalah merupakan bagian dari proses perencanaan yang berkaitan dengan perancangan fisik dan ruang suatu lingkungan kota yang ditujukan untuk kepentingan umum. Seperti diungkapkan oleh Barnett (1979), bahwa perancangan kota merupakan keputusan-keputusan kebijaksanaan publik, dan menurut Gosling (1980) perancangan kota sebagai pernyataan politik. Lingkup urban design (perancangan kota) menurut Beckley (1979 :62) dalam Introduction to Urban Planning, mengatakan bahwa urban design adalah "jembatan" antara profesi perencana kota (urban planning) dengan profesi arsitek. Dalam makalah Urban Design: Pengertian, permasalahan, dan Konsep Penerapan, Danisworo (1993), mengungkapkan rancangan kota berkepentingan dengan kualitas ruang kota terutama yang berkaitan dengan kepentingan umum pada suatu bagian dan/atau sektor kota. Orientasi perancangan kota tersebut merupakan dasar kebijaksanaan yang harus diperhatikan dalam perancangan kota. Pendekatan yang realistis untuk perancangan kota harus memasukkan ketiga orientasi tersebut, dan mencari keseimbangan antara ketiga orientasi tersebut di atas (Shirvani,H., 1985). Lebih lanjut Shirvani menyatakan bahwa ruang lingkup perancangan kota adalah mulai dari eksterior bangunan pribadi (individual building) sampai ke ruang terbuka. Perancangan kota merupakan bagian rangkaian dari proses perencanaan yang berfungsi sebagai perangkat pengendali untuk mempermudah implementasi kebijakan perencanaan kota, maka bentuk rancangan kota dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yakni; 1. Urban design criteria atau kriteria-kriteria yang mendasari keputusan ruang kota, unsur dasar (kriteria) yang harus diperhatikan dalam penataan fisik kawasan kota. 2. Urban design guideline, merupakan panduan yang harus dipergunakan dalam perancangan atau penataan suatu kawasan kota. Bentuk guideline ini harus sudah operasional dan terperinci secara teknis. 3. Urban design standart, merupakan patokan-patokan dasar atau ukuran minimum dan atau maksimum bagi kriteria perancangan kota dalam pelaksanaan pembangunan suatu kawasan. Apabila ditinjau dari unsur pembentuk kota pada hakekatnya substansi urban designsebenarnya akan menyangkut 3 unsur pokok yaitu; 1. Faktor lingkungan alam, karakteristik alam merupakan unsur dasar yang akan memberikan karakteristik yang spesifik suatu kawasan/kota. Faktor alam ini mencakup; iklim, topografi, geo-morfologi, aliran, kelembaban, suhu udara, flora-fauna dan sebagainya. 2. Faktor lingkungan buatan, kondisi-potensi lingkungan buatan sebagai produk budaya masyarakat yang telah membentuk lingkungan yang spesifik perlu menjadi suatu pertimbangan sebagai satu kesatuan produk aktifitas masyarakat. 3. Faktor lingkungan non-fisik, kehidupan sosial-budaya, ekonomi, politik dan teknologi, sebagai faktor yang melatar belakangi terbentuknya lingkungan binaan manusia. Ketiga faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang saling pengaruh mempengaruhi. Lingkungan alam akan menentukan struktur dan pola kota yang spesifik, sebagai cerminan pola perilaku dan tata nilai sosial-budaya, ekonomi dan politik yang melatar belakanginya. Produk perancangan kota menurut Hamid Shirvani (1985), meliputi Kebijaksanaan, Rencana, Pedoman, dan Program. Kebijaksanaan perancangan kota merupakan kerangka strategi pelaksanaan yang bersifat spesifik. Sebagai produk kebijaksanaan yang spesifik menuntut setiap kota harus memiliki peraturan yang khas, seperti dikemukakan para pakar bahwa "No two cities are alike". Rencana merupakan produk penting dalam perancangan kota yang berorientasi pada proses dan produk, rencana tersebut harus dikembangkan mengikuti kerangka yang tertuang dalam kebijaksanaan perancangan kota di atas. Rencangan kota sebagai peraturan yang diperlakukan harus menjadi landasan bagi arsitektur baru, rencana baru, dan kualitas baru (Slamet Wirasondjaya, 1992). Kebijaksanaan dan rancangan kota dalam operasionalisasinya perlu diterjemahkan ke dalam bentuk pedoman yang lebih spesifik dan operasional dengan memperhatikan ruang kota dalam skala mikro termasuk perancangan KTAS. Perancangan KTAS harus memperhatikan beberapa aspek yang berkaitan dengan bentuk morfologi sungai serta ketentuan peraturan yang berlaku. Beberapa peraturan yang berkaitan dengan upaya pemanfaatan kawasan tepi air antara lain; (1) Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung; (2) Peraturan Pemeintah RI no 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; (3) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no.63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai; (4) Petunjuk Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan di Kawasan Tepi Air Oleh Dirjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum RI tahun 2000. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga konsistensi serta penegakan peraturan yang berlaku. Dengan mengacu pada upaya pembangunan terpadu yang berkelanjutan jelas bahwa prioritas pemanfaatan KTAS adalah upaya melindungi dan melestarikan lingkungan alam. Berkaitan dengan hal tersebut ada beberapa dasar pertimbangan yang digunakan dalam menyusun prinsip-prinsip perancangan KTAS, antara lain: 1. Bentuk tipologi-morfologi KTAS baik secara topografis, karakteristik tanah, jenis vegetasi, serta bentuktepi air sungai (landai atau curam) akan mempengaruhi teknik, disain, dan konstruksi pembangunan kawasan tersebut. 2. Perancangan KTAS harus memperhatikan karakteristik lingkungan, sehingga karakter spesifik kawasan tetap terjaga. Perlu ditetapkan fungsi peruntukan yang sesuai dengan karakteristik setempat. Hal ini akan mempengaruhi sejauhmana pemanfaatan KTAS atau bahkan badan air sungai/danau akan digunakan. 3. Kawasan tepi air mempunyai batasan-batasan atau aturan dalam perancangannya baik dari sisi skala (ukuran) maupun kompleksitasnya (Wrenn, 1983). Pembangunan di KTAS haruslah ditujukan untuk perlindungan terhadap lingkunan serta memanfaatkan lahan-lahan yang kurang produktif. Sehingga perlu dilakukan AMDAL secara cermat sebelum pembangunan KTAS dilakukan. 4. Dampak kepada aktivitas penduduk serta kelestarian lingkungan perlu dicermati. Pemanfaatan lingkungan tepi air sungai dilakukan dengan menjaga kualitas air, penyediaan ruang terbuka, menjamin kemudahan akses/pencapaian, serta antisipasi terhadap bencana (longsor, banjir) serta dampak sosial bagi penduduk di kawasan tersebut. 5. Harus diinventarisasi kegiatan-kegiatan sosial-budaya, peristiwa tertentu (event) dan/atau adat kebiasaan penduduk berupa ritual/upacara yang dilakukan di tepi air dan/atau badan air. Hal ini penting untuk dapat mengakomodasikan kepentingan-kepentingan penduduk dalam upaya pengembangan kawasan. 6. Orientasi bangunan sebaiknya ke arah tepi air. Tepi air harus dijadikan "latar depan”sehingga "penghargaan” terhadap lingkungan tepi air menjadi lebih baik. Secara sosial, kontrol pemanfaatan ruang tepi air menjadi lebih mudah dibandingkan jika tepi air dijadikan"daerah belakang”. Selain ke enam dasar pertimbangan di atas ada ada 4 aspek yang harus diperhatikan yakni; aspek keamanan, kenyamanan, kemudahan aksesibilitas, kesehatan lingkungan, dan aspek estetika lingkungan alam dan buatan. Karena KTAS sangat strategis dalam rangka upaya kelestarian lingkungan, maka dalam rangka pemanfaatan KTAS yang terpadu dan berkelanjutan harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: (1) Pemanfaatan SDA harus memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang, (2) pembangunan harus memperhatikan keselarasan dan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, (3) Pembangunan harus memberikan peluang untuk berlangsungnya regenerasi ekosistem dan menjamin kualitas kehidupan yang lebih baik, (4) perlu dihindarkan dampak pada kesenjangan sosial, (5) perlu upaya-upaya partisipasi dalam pengambilan keputusan, perencanaan dalam semua level upaya peningkatan kualitas lingkungan. Catatan Penutup1. Pemanfaatan KTAS secara terpadu adalah suatu pendekatan pemanfaatan KTAS yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan secara terintegrasi (integrated) guna tercapainya pembangunan KTAS secara berkelanjutan. Keterpaduan (integrated) pemanfaatan SDA mengandung tiga dimensi; sektoral (horizontal and vertical integration), bidang ilmu (interdisciplinary approaches), dan dimensi keterkaitan ekologis (ecological linkages). 2. Upaya intervensi fisik melalui perancangan KTAS sebagai upaya pembangunan fisik kawasan harus memperhatikan 3 orientasi pembangunan yakni; (1) Development orientations; (2) conservation orientations; dan (3) community orientations. Ke-tiga Orientasi tersebut merupakan dasar kebijakan yang harus diperhatikan dalam perancangan KTAS. 3. Perancangan KTAS mengacu pada pendekatan yang dilakukan oleh Shirvani, H., (1985), yang mencakup delapan elemen perancangan yakni; (1) Tata guna tanah (land use); (2) Massa dan bentuk bangunan (Bulding form and massing); (3) Sirkulasi dan parkir (Circulation and parking); (4) Ruang terbuka (Urban Space); (5) Jalur pejalan kaki (Pedestrian ways); (6) Aktifitas penunjang (Activity support); (7) Tanda-tanda (Signage); dan (8) Preservasi (Preservations). Kedelapan elemen perancangan kota (baca; kawasan) inilah yang digunakan sebagai acuan dalam menyusun prinsip-prinsip perancangan KTAS (lihat tabel 1). 4. Dalam rangka pemanfaatan dan perancangan KTAS terpadu dan berkelanjutan, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) Pemanfaatan SDA harus memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang, (2) pembangunan harus memperhatikan keselarasan dan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, (3) Pembangunan harus menjamin kualitas kehidupan yang lebih baik, untuk generasi sekarang dan masa yang akan datang, (4) harus dihindarkan dampak pada sosial dengan melakukan kajian AMDAL. (5) Upaya-upaya partisipasi dalam pengambilan keputusan, perencanaan harus dilakukan di semua level proses upaya peningkatan kualitas lingkungan KTAS. [1] Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya air terpadu dan Berkelanjutan (Integrated and Sustainable Water Resource Management), Kerjasama antara: Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Merdeka Malang dengan; Pemkot Malang, Perum Jasa Tirta Malang, HATHI cabang Malang, 15 Januari 2005 di Ruang PPI lantai III, Gedung Pusat Unmer Malang. |
Jumat, 29 April 2011
PEMANFAATAN DAN PERANCANGAN KAWASAN TEPI AIR SUNGAI TERPADU DAN BERKELANJUTAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar