FENOMENA bencana seperti banjir, longsor dan kekeringan, yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia akhir-akhir ini, pada dasarnya, merupakan indikasi yang kuat terjadinya ketidakselarasan dalam pemanfaatan ruang, antara manusia dengan alam maupun antara kepentingan ekonomi dengan pelestarian lingkungan.
Banjir bisa disebabkan oleh aktivitas sosial-ekonomi manusia yang dinamis, seperti pemanfaatan sempadan sungai untuk permukiman, pemanfaatan wilayah retensi banjir, perilaku masyarakat yang buruk dengan membuang sampah ke sungai, dan sebagainya Demikian pula longsor dapat disebabkan akibat penggundulan hutan,konversi lahan pada kawasan lindung menjadi kawasan budidaya. Sedangkan kekeringan dapat disebabkan oleh peristiwa alam yang bersifat dinamis, seperti : perubahan iklim, pemanasan global dan sebagainya.
Kejadian diatas sesungguhnya dapat dicegah atau diminimalisis apabila dalam penataan ruang dan pertanahan benar-benar mengacu pada Undang Undang Penataan Ruang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Secara garis besar dalam UU tersebut disebutkan bahwa ada 3 (tiga) hal penting dalam penataan ruang yaitu proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang.
Dalam proses perencanaan ruang, biasanya pemerintah menggandeng konsultan tata ruang untuk membantu penyusunan sebuah rencana tata ruang. Konsultan sendiri dengan tenaga ahli dibidangnya masing-masing (seperti ahli perencanaan wilayah dan kota atau planologi, ahli geologi, geodesi, ekonomi, teknik sipil, arsitektur dan tenaga ahli lainnya tergantung kebutuhan) berusaha membuat perencanaan dengan konsep paling ideal.
Secara garis besar, perencanaan wilayah diawali dengan penetapan fungsi kawasan. Tiga faktor yang dinilai sebagai penentu kemampuan lahan yaitu :
1.Kelerengan lapangan
2.Jenis tanah menurut kepekaan terhadap erosi
3.Intensitas hujan harian rata-rata
Informasi tersebut didapatkan dari hasil pengolahan peta topografi, peta tanah, dan data hujan. Klasifikasi dan nilai skor dari ketiga faktor di atas berturut � turut adalah seperti Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3.
Melalui tumpang tindih (overlay) peta masing - masing faktor diatas, akan didapatkan satuan-satuan lahan menurut klasifikasi dan nilai skor dari ketiga tersebut. Penetapan fungsi Kawasan dilakukan dengan menjumlahkan nilai skor dari ketiga faktor yang dinilai pada setiap satuan lahan. Besarnya jumlah nilai skor tersebut merupakan nilai skor kemampuan lahan untuk masing - masing satuan lahan.
Jenis Fungsi Kawasan ditetapkan berdasarkan besarnya nilai skor kemampuan lahan dan kriteria khusus lainnya, sebagaimana kriteria dan tata cara yang ditetapkan dalam Buku Petunjuk Penyusunan Pola RLKT. Fungsi kawasan berdasarkan kriteria tersebut dibagi menjadi empat kawasan yaitu, Kawasan Lindung, Kawasan Penyangga, Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan, dan Kawasan Budidaya Tanaman Semusim.
1.Kawasan Fungsi Lindung
Kawasan fungsi lindung adalah suatu wilayah yang keadaan sumberdaya alam air, flora dan fauna seperti hutan lindung, hutan suaka, hutan wisata, daerah sekitar sumber mata air, alur sungai, dan kawasan lindung lainnya sebagaimana diatur dalam Kepres 32 Tahun 1990.
Suatu satuan lahan ditetapkan sebagai kawasan fungsi lindung, apabila besarnya skor kemampuan lahannya ≥175, atau memenuhi salah satu/beberapa syarat berikut :
a.Mempunyai kemiringan lahan lebih dari 40 %
b.Jenis tanahnya sangat peka terhadap erosi (regosol, litosol, organosol,dan renzina) dengan kemiringan lapangan lebih dari 15 %
c.Merupakan jalur pengaman aliran air/sungai yaitu sekurang-kurangnya 100 meter di kiri-kanan sungai besar dan 50 meter kiri-kanan anak sungai.
d.Merupakan perlindungan mata air, yaitu sekurang-kurangnya radius 200 meter di sekeliling mata air.
e.Merupakan perlindungan danau/waduk, yaitu 50-100 meter sekeliling danau/waduk.
f.Mempunyai ketinggian 2.000 meter atau lebih di atasa permukaan laut.
g.Merupakan kawasan Taman Nasional yang lokasinya telah ditetapkan oleh pemerintah.
h.Guna keperluan/kepentingan khusus dan ditetapkan sebagai kawasan lindung.
2.Kawasan Fungsi Penyangga
Kawasan fungsi penyangga adalah suatu wilayah yang dapat berfungsi lindung dan berfungsi budidaya, letaknya diantara kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi budidaya seperti hutan produksi terbatas, perkebunan (tanaman keras), kebun campur dan lainnya yang sejenis.
Suatu satuan lahan ditetapkan sebagai kawasan fungsi penyangga apabila besarnya nilai skor kemampuan lahannya sebesar 125 -174 dan atau memenuhi kriteria umum sebagai berikut :
a.Keadaan fisik satuan lahan memungkinkan untuk dilakukan budidaya secara ekonomis.
b.Lokasinya secara ekonomis mudah dikembangkan sebagai kawasan penyangga.
c.Tidak merugikan dilihat dari segi ekologi/lingkungan hidup bila dikembangkan sebagai kawasan penyangga.
3.Kawasan fungsi Budidaya Tanaman Tahunan
Kawasan fungsi budidaya tanaman tahunan adalah kawasan budidaya yang diusahakan dengan tanaman tahunan seperti Hutan Produksi Tetap, Hutan Tanaman Industri, Hutan Rakyat, Perkebunan (tanaman keras), dan tanaman buah - buahan. Suatu satuan lahan ditetapkan sebagai kawasan dengan fungsi budidaya tanaman tahunan apabila besarnya nilai skor kemampuan lahannya ≤ 124 serta mempunyai tingkat kemiringan lahan 15 - 40% dan memenuhi kriteria umum seperti pada kawasan fungsi penyangga.
4.Kawasan Fungsi Budidaya Tanaman Semusim
Kawasan fungsi budidaya tanaman semusim adalah kawasan yang mempunyai fungsi budidaya dan diusahakan dengan tanaman semusim terutama tanaman pangan atau untuk pemukiman. Untuk memelihara kelestarian kawasan fungsi budidaya tanaman semusim, pemilihan jenis komoditi harus mempertimbangkan keseuaian fisik terhadap komoditi yang akan dikembangkan.
Untuk kawasan pemukiman, selain memiliki nilai kemampuan lahan maksimal 124 dan memenuhi kriteria tersebut diatas, secara mikro lahannya mempunyai kemiringan tidak lebih dari 8%.
Dengan demikian sepertinya tidak ada yang salah dalam perencanaan tata ruang karena sudah melalui standar dan prosedur sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Namun kenyataannya banyak terjadi penyimpangan pada saat pemanfaatan ruang di lapangan dan lemahnya pengendalian penataan ruang.
Pelanggaran yang terjadi akibat lemahnya pengendalian. Banyak celah-celah yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan birokrasi, otonomi daerah, faktor ekonomi dan sebagainya. Selain itu juga tidak ada sanksi bagi pelanggar tata ruang. Pernahkan ada orang yang dihukum karena pelanggaran tata ruang?
Salah satu contoh nyata adalah rusaknya kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopuncur). Dengan kasat matapun sudah jelas bahwa daerah itu merupakan daerah berbukit dengan kemiringan antara 15-60% yaitu dari landai sampai sangat curam. Dengan curah hujan yang cukup tinggi, sudah jelas kawasan ini difungsikan menjadi kawasan lindung dan kawasan penyangga. Kawasan Lindung dengan fungsi sebagai taman nasional yaitu Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) di Cipanas dan Kawasan Penyangga berupa perkebunan teh PTPN VIII di Gunung Mas. Namun kenyataannya, disana banyak lahan yang berubah fungsi. Disana terdapat ratusan vila-vila mewah bertebaran dengan izin entah darimana, karena IMB (Izin Mendirikan Bangunan) untuk di daerah Puncak sudah dilarang diterbitkan. Dengan adanya bangunan permanen jelas mengganggu penyerapan air ke dalam tanah. Air hujan akan masuk ke dalam sungai. Salah satu akibatnya sudah dapat dirasakan : banjir setiap tahun yang melanda Kota Jakarta akibat meluapnya sungai Ciliwung akibat limpasan air hujan yang tidak tertampung. Dan sekarang, vila-vila mewah tersebut sudah merambah ke Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) di Sukabumi dan Bogor. Salah satu bencana lainnya adalah longsor dikawasan penyangga seperti di perkebunan Ciwidey.
Bencana tersebut sebenarnya bisa dicegah, apabila kita mengikuti apa yang sudah ditetapkan dalam perencanaan penataan ruang. Namun karena banyaknya kepentingan, perencanaan itu akhirnya diabaikan dan terjadilah bencana.
Untuk itu, mari kita kedepankan sebuah perencanaan yang ideal, tanpa melihat kepentingan seseorang atau golongan tertentu untuk mencegah bencana yang mengakibatkan kesengsaraan banyak orang dan kerusakan lingkungan.(*)